Quo Vadis Konstitusi? Supremasi Hukum di Tengah Hegemoni Oligarki
Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Fakultas Syariah UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon telah sukses menyelenggarakan Seminar Konstitusi Nasional dengan tema “Quo Vadis Konstitusi? Supremasi Hukum di Tengah Hegemoni Oligarki”. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun kesadaran kritis mahasiswa Fakultas Syariah dalam menyikapi berbagai persoalan hukum dan konstitusi di Indonesia. Seminar yang berlangsung di Gedung SBSN UIN SSC tersebut menghadirkan dua pembicara kompeten, yaitu Ibu Bivitri Susanti (Dosen STHI Jentera dan Anggota CALS/Constitutional and Administrative Law Society) serta Bapak Dr. Suryo Gilang Romadlon, S.H., M.H. (Asisten Ahli Hakim Konstitusi). Acara dipandu oleh moderator Bapak Dr. Izzuddin, M.Ag. (Wakil Dekan II Fakultas Syariah).
Dalam pemaparannya, Bivitri Susanti mengungkapkan bahwa demokrasi Indonesia masih terjebak dalam cengkeraman oligarki. Merujuk pada karya Steven Levitsky, “How Democracies Die”, ia menjelaskan bagaimana oligarki menyusup ke dalam lembaga-lembaga negara untuk melanggengkan kepentingannya. Menurutnya, DPR sebagai representasi rakyat justru sering gagal menjalankan fungsinya karena kebijakan yang dihasilkan lebih menguntungkan elit politik ketimbang masyarakat. Salah satu contoh nyata adalah UU Cipta Kerja yang dinilai kontroversial.
Bivitri juga menyoroti sifat hukum Indonesia yang positivistik, di mana hukum sering dipisahkan dari nilai moral. Akibatnya, banyak kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan publik. Ia menegaskan bahwa hukum harus terus dikritisi karena bersifat dinamis bukan produk mutlak, melainkan buatan manusia yang bisa berubah. Namun, di tengah situasi sulit ini, Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi harapan terakhir untuk menguji kesesuaian undang-undang terhadap UUD NRI 1945. Peran masyarakat juga dinilai krusial dalam menjaga demokrasi, meski kesadaran politik dan hukum rakyat masih rendah. Kehadiran seminar semacam ini, menurutnya, menjadi angin segar bagi kemajuan hukum dan demokrasi di Indonesia.
Sementara itu, Dr. Suryo Gilang Romadlon menekankan pentingnya aparat penegak hukum mengedepankan social justice. Ia memperkenalkan madzhab Critical Legal Studies (CLS) sebagai pendekatan yang relevan untuk mengkritisi hukum sekaligus mengintegrasikan nilai moral. Bagi Suryo, hakim konstitusi perlu mempelajari dan menerapkan CLS agar lebih fokus pada keadilan substantif daripada sekadar prosedural. Hal ini akan memperkuat independensi MK dalam memutus perkara-perkara konstitusional.
Dan disampaikan juga oleh Sandy Al Faris, sebagai Wakil Ketua DEMA Fakultas Syariah UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, “Melalui seminar ini, harapannya dapat memantik diskusi lebih mendalam tentang masa depan konstitusi dan supremasi hukum di Indonesia, khususnya di kalangan mahasiswa sebagai agen perubahan.”